Bapak akhirnya punya rumah sendiri, setelah sekian tahun hidup dalam sekat-sekat sempit rumah petak tengah kota. Rumah itu bapak dirikan dengan tangan sendiri, keringat sendiri dan mencicil, kalaupun uang yang terkumpul akhirnya hanya cukup untuk membeli 1 atau 2 bak pasir dan 2 hingga 4 sak semen juga beberapa tumpuk bata merah, sedikit demi sedikit tetap bapak kerjakan; mulai dari merancang rumah dan tata ruang, mengaduk adonan semen-pasir, memasang batu pondasi, semuanya bapak kerjakan sendiri. Kalau begitu caranya memang tak akan habis fikir berapa lama yang bapak perlukan sampai rumah itu bisa berdiri “yang penting kerjakan meskipun mencicil, jangan cuma bisanya mimpi” itu kata bapak suatu hari. Bapak memang luar biasa berbakat, hampir dalam hal apapun ia bisa, malah kalau dihitung-hitung sejak aku kecil sudah berapa banyak usaha percobaan bisnis yang ia lakukan sampai saat ini: bisnis gantungan kunci dari kayu pinus, sablon kaos bola, usaha manisan kolang-kaling, cat tembok, sampai produksi saus botolan pernah bapak kerjakan, namun dari kesemua percobaan itu, membuat gantungan kunci dan sablon kaos terbilang yang paling sukses, sisanya biasanya kandas di bagian pemasaran, bapakku mengaku memang ia kurang cakap dalam hal pasar memasarkan karyanya sendiri.
Dalam pepatah sunda ada istilah “bakat ku butuh” kalau dijabarkan kurang lebih artinya ide atau bakat yang tumbuh karena didesak oleh kebutuhan, sejak kecil bapak belum pernah membangun rumah, baru kali ini ketika anaknya telah dua kecil-kecil, ia didesak tekad bulatnya: memiliki rumah sendiri, maka ia mulai belajar dari nol sekali. Rumah itu ia dirikan di sebidang tanah pelosok kampung di pegunungan utara kota Bandung sebagian ia beli dari uang gajinya yang ia sisih sedikit sedikit, sebagian lagi hasil meminjam saudara, “mengejar mimpi itu terkadang memang harus pakai nekat” kata bapak.
Di rumah pelosok Bandung buatan bapak itulah akhirnya aku terlahir, di udara-udara yang sejuk dan melega, puncak-puncak gunung gagah menghampar di sebelah utara dekat pandangan mata, ada sungai-sungai berair jernih mengalir disana aku pernah mandi di salah satu anak sungainya, lalu di selatannya menghampar sawah-sawah hijau, jalan tanah setapak, embun-embun menetes, lalu kumandang takbir menggema-gema di pagi Iedul Adha. Kata ibuku, makanan kegemaranku waktu kecil adalah sate, mau sate kambing atau ayam yang penting sate, bahkan kata ibu kehebatanku waktu kecil ialah mampu mendeteksi bau sate dari jarak lebih dari 100 meter dan biasanya setelah itu aku merengek-rengek minta sate. Maka demi kegemaran anaknya itu, sejak sehari sebelum Iedul Adha ibu telah menyiap-nyiapkan arang, tusuk sate dari lidi pohon kelapa, juga panggangan sate dari besi-besi yang nantinya akan disusun di atas bata merah.
“Malam ini kita bakal makan sate pak?” tanyaku waktu itu dengan berbinar-binar setelah diajak melihat kambing-kambing disembelih di lapangan desa, “insya Allah” begitu jawab bapak, akupun berlari-lari kegirangan, tabiatku waktu kecil ketika kegirangan ialah berlari-lari keliling ruangan sambil sesekali jumpalitan, aku girang sekali, waktu itu sate adalah makanan mahal yang sangat jarang sekali masuk ke dalam perut kami. Maka entah sudah berapa kali aku jumpalitan siang itu, air liurku kutelan membayangkan lezatnya sate-sate ketika kukunyah lahap nanti malam.
Sore itu bau daging kambing dibakar semerbak tercium hidung, sepertinya para tetangga sudah mulai memasak daging kambing hasil pembagian petugas desa, aku berlari keluar rumah dan betul saja ada tetangga yang sedang asik membakar sate disana, akupun tersenyum senyum sendiri “mah, ayo sekarang aja kita buat sate kambingnya biar barengan” kataku, tapi ibu bilang “sabar sebentar dek, dagingnya belum sampai”, aku sedikit kecewa sore itu, tapi tak apalah menunggu sebentar, malam sebentar lagi.
Kata ibuku, sampai malam larut hari itu tak ada satupun bungkusan daging kambing yang mampir ke rumah, mungkin petugas desa lupa menghitung atau kami memang tidak dapat bagian, aku tak sengaja terlelap sampai pagi ketika menunggui daging itu datang, sementara bapak yang merasa sudah berjanji padaku merasa bersalah, ibu membungkus kembali arang-arang yang telah dijemur lalu menyembunyikan tusuk sate dan besi-besi ditempat tak terlihat, berharap esok pagi aku yang terlelap sudah melupakan sate kambingnya.
***
Cinta bapak pada anaknya tak berupa kata-kata, ialah nyata. Cinta ibu pada anaknya tak sekedar terasa, ia menghunjam hingga ke dada.
Yang jelas sepertinya waktu itu tanggal tua, bapak sudah tak punya uang lebih untuk sekedar membeli setengah kilo daging untuk dibuat sate, sementara janji pada anaknya terlanjur terucap maka pantang baginya untuk beralasan, pagi itu bapak bertekad malam nanti ia akan menunaikan janji, memberikan anaknya; sepuluh tusuk sate.
Namun hingga sore uang tambahan yang ia harap dapat dari kantor ternyata belum ada, maka sudah terbayang bapak tak akan bisa membeli sate malam nanti. Tapi bukanlah bapak jika tak berusaha sekuat tenaga, menyerah dan melanggar janji adalah kata-kata yang ia coret dalam kamus hidupnya, ini bukan soal memanjakan anak dengan beberapa tusuk sate, tapi lebih dari itu, bapak sedang mengajarkan arti janji pada anaknya.
Maka sepulang kantor sore itu ia mengajak aku dan ibuku menuju sawah-sawah, membawa bekal beberapa kantong plastik, di sawah-sawah itulah banyak hama musuh para petani: keong mas. Aku yang tak tahu untuk apa, hanya ikut kegirangan ketika bapak dan ibu mengumpul-ngumpulkan keong ke dalam kantong plastik, rupanya bapak pernah membaca bahwa kandungan protein dalam daging keong mas tidak kalah dengan daging ayam atau kambing, bahkan di jepang keong mas ini menjadi salah satu konsumsi kesukaan. Maka ide untuk membuat sate keong terbersit di kepalanya, hasil memutar otak sepanjang jalan pulang kantor tadi: bakat ku butuh.
Malam itu, bapak dan ibu menggelar panggangan sate buatan dari besi-besi yang disusun di atas bata, lengkap dengan arang-arang yang telah dijemur kemarin, setelahnya aku berbahagia ketika sepuluh tusuk sate telah tersaji di depan mata, kata ibuku malam itu aku makan dengan lahap disuapi ibu dengan mata berkaca-kaca, sementara dalam hatinya merasa sesak “maaf ya nak, cuma sate ini yang bisa bapak beri malam ini”
Meski aku sudah lupa rasanya, pastilah sate malam itu adalah sate dengan rasa paling lezat yang pernah aku makan, karena itu bukan sekedar sepuluh tusuk sate kambing atau ayam, malam itu aku makan sepuluh tusuk sate cinta.