Promosi Soundcloud

Saya ternyata bukan orang yang konsisten dalam menulis :). Akhir-akhir ini saya kesulitan menemukan tulisan yang cukup menarik dan bermanfaat untuk saya tulis, maka blog ini akhirnya mengalami hiatus :).

Dari sejak SMA saya mulai menyukai membuat lagu, ada banyak karya yang tersimpan hanya di memori otak saya, beberapa lagu sempat beruntung dibuat rekaman seadanya. Kalau sempat mampir dan dengarkan saya akan senang 🙂

Langsung saja link-nya disini:

Terima kasih

Mencintaimu adalah Belajar

Mencintaimu adalah belajar
Ketika kamu sudi tetap tinggal tenang, dipimpin lelaki yang segala kurang, kadang langkahnya juga bimbang..
dari kamu aku belajar percaya

Mencintaimu adalah belajar
Ketika kenyataan tak selalu manis, mungkin jauh dari ceritera romantis, tapi senyummu tak juga kikis..
dari kamu aku belajar kesabaran

Mencintaimu adalah belajar
Ketika kurangmu kupertanyakan, padahal lelaki ini juga tiada kelebihan, tapi kamu tak pernah keluhkan..
dari kamu aku belajar bercermin

Mencintaimu adalah belajar
Belajar untuk menunggu jika langkahku terlampau maju, karena itu juga yang sering kau lakukan, menunggu aku untuk kemudian terus beriringan, katamu ini bukan lagi tentang aku atau kamu, tetapi kita

Mencintaimu adalah belajar
Ketika kau lepas semua yang sudah kau capai, meski kau rasa berat harus mimpimu usai, tetap kau lakukan demi kita bisa sampai..
dari kamu aku belajar pengorbanan

Semoga Tuhan tetap izinkan, kita terus bergenggaman, sampai nanti kan? sampai ujung waktu yg Dia tentukan..

Di Sebalik Kumandang Sumbang

Jam kantor sudah lewat lebih dari satu jam sore itu tapi saya masih memutuskan untuk menetap dulu, karena memang ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan, sampai kemudian menjelang waktu maghrib tiba, saya akhirnya rehat sejenak lalu pergi menuju masjid yang jaraknya tak jauh dari gedung kantor, di perjalanan singkat itu saya baru tahu ternyata azan maghrib belum berkumandang dari masjid, maka detik itu saya mendadak menggebu-gebu lalu mempercepat langkah berharap saya berkesempatan untuk bisa jadi muazin.

Saya jadi ingat kembali ke masa kecil dulu, waktu masih SD saya sering didaulat untuk jadi muazin oleh guru ngaji, maghrib biasanya menjadi penanda bahwa waktu mengaji sore telah usai, anak-anak sholat berjamaah lalu bisa pulang ke rumah. Saya ingat juga bahwa suatu waktu saya pernah menjadi juara 3 lomba azan tingkat SD se-kompleks perumahan, hadiahnya selain piagam penghargaan adalah dua atau tiga buah buku tulis, pensil dan penggaris, mungkin sampai dengan detik ini, itu juga satu-satunya prestasi yang bisa saya sebut jika kebetulan ditanya orang, pernah jadi juara apa?

Sudah lama saya tak pernah azan di masjid, terakhir kali mungkin waktu masih kuliah, itupun sangat jarang, maka kerinduan untuk mengumandangkan azan menjelma menjadi langkah-langkah yang cepat, wudhu yang serba dipersingkat dan kegembiraan dalam hati ketika kemudian gayung bersambut, imam masjid menunjuk saya..satu-satunya orang yang sudah selesai wudhu untuk mengumandangkan azan, tak ada pilihan.

Akhirnya microphone telah dinyalakan sayapun sudah berdiri di posisi yang semestinya, masih agak tergesa saya menyesuaikan  degupan dada, memang agak berlebihan, mungkin karena ini semacam nostalgi buat saya, maka dengan degupan yang belum juga berkurang itu ditambah rasa canggung karena sudah sekian lama tak pernah azan saya memulainya, kumandang takbir.. dengan nada yang salah, terlalu tinggi..

Sedikit menyimpang, tapi menurut teori vocal yang saya tahu kulitnya saja, seorang vokalis yang baik adalah ia yang mempunyai jangkauan nada yang lebar, yaitu yang mampu bersuara merdu baik di nada-nada rendah, tapi juga tetap prima meski harus bermain di nada-nada yang tinggi. Saya, bukanlah vokalis, apalagi vokalis yang baik, jika saya kemudian terpaksa bernyanyi di nada rendah maka yang keluar hanyalah semacam bisikan-bisikan bernada yang timbul tenggelam lalu hilang, tak jelas disebut apa tapi intinya tak enak didengar, sebaliknya saya juga tak dianugerahi kemampuan untuk menjangkau nada-nada tinggi jikapun terpaksa maka suara yang keluar bukanlah suara lengkingan merdu, tapi lebih mirip jeritan kambing waktu dini hari, mengganggu.

Kembali ke persoalan azan, maka azan perdana saya di kantor sore itu tentu tak berjalan mulus, berkali kali suara saya tercekat di tengah-tengah, saya miris menyadari bahwa apa yang sedang saya lakukan bukan lagi mengumandangkan azan dengan suara merdu lantang seperti yang terbayang, kenyataannya saya malah sedang menjerit-jerit mempertahankan nada yang diluar kemampuan, benar-benar azan terlama dan melelahkan yang pernah saya selesaikan seumur hidup..entah berapa pasang telinga yang menderita sore itu, yang jelas selesai azan saya melihat banyak orang sudah berdiri menunggu azan selesai, salah satunya adalah muazin andalan masjid kantor, saya..malu luar biasa.

Sayapun akhirnya sholat dengan sulit khusyu, rasa malu akibat kumandang sumbang tadi terus mengganggu di sepanjang ruku-sujud sore itu, maka selesai shalat saya coba tak langsung beranjak, tapi duduk berzikir sejenak siapa tahu saya bisa menangkap pelajaran.

Di sebalik kumandang sumbang itu, saya menyadari ada niat-niat tak mulia di dalamnya, betapa keinginan untuk mengumandangkan azan sore itu ternyata bukan lagi karena ingin menyeru orang-orang untuk datang dan sholat seperti yang sejatinya, tapi lebih karena rindu saja ingin bersuara, ada semacam harapan suara saya nanti bisa terdengar merdu dan enak didengar kemana-mana, inilah yang saya tangkap sebagai riya. Mungkin Tuhan waktu itu hendak mengingatkan, atau mungkin mau memberi pelajaran, betapa hasil yang tak baik akan ada jika niat-niatnya tak mulia, ini mungkin saja hanya kejadian kecil tapi cukup menyentil saya hari itu, saya jadi ingat sepanjang hidup, mungkin tak bisa dihitung betapa banyak niat-niat tak mulia menjadi pengantar saya dalam berbuat, maka jika suatu saat Tuhan menyentil, saya mestinya tahu jawabannya..

Filosofi Pantat Ayam

Menulis bagi saya adalah waktunya berbagi, sekedar cerita, kadang juga menuangkan pikiran-pikiran baik, atau sekelebat pemahaman yang sempat lewat dan berharap itu bisa jadi manfaat. Dulu, saya betul-betul peduli bahwa apa yang saya tulis jika itu adalah hal-hal yang bersifat pesan moral atau pesan kebaikan maka paling tidak saya harus sudah baik dulu, sudah pantas dulu, tapi setelah waktu berjalan ko rasanya saya ini belum pantas terus, jadilah saya enggan menulis.

Lalu sampai pada suatu saat saya menyadari, tulisan tak mestilah dijadikan beban kalau itu kebaikan maka tuliskan, peduli amat saya sebetulnya manusia kotor, peduli amat jika sebetulnya saya tak pantas. Toh memang benar sampai sekarang saya sendiri pun masih khawatir amal apa sebetulnya yang benar-benar diterima, sholat saya masih susah khusyu, mengaji saya masih terbata, infaq saya masih sedikit, bercanda sering kelewat batas, kelakuan saya lebih banyak cela-nya, dzikir lebih sering sebatas mantra dan banyak hal-hal lainnya..

Maka diantara banyak hal yang cela, izinkan saya menulis yang baik-baik meski saya bukan orang yang baik, lupakanlah siapa yang menulis. Seperti apa kata teman saya pernah bilang, tanamkanlah filosofi pantat ayam: kalau yang keluar telur, ambil..kalau tai kotok ya jangan..namanya juga dari pantat ayam!

Tak Harus Menunggu Episode Besar

Saya, seringkali hanya terpesona pada hal-hal tak biasa atau hal-hal yang -menurut saya- besar dalam hidup. Saya pernah terpukau dan merasa sangat bersyukur ketika selesai mendengar bapak, satu-satunya saksi hidup, bercerita tentang satu kejadian dimasa yang saya tak pernah ingat. Ceritanya lebih dari seperempat abad lalu, di kampung utara Bandung tempat tinggal kami saat itu sedang gembar-gembornya wabah anjing gila akibat infeksi virus rabies. Bapak pulang dari kantor sore itu berjalan kaki, dari jarak puluhan meter beliau sudah bisa melihat bahwa anaknya yang masih kecil dan sangat lucu sekali (baca: saya) ternyata sedang sibuk belajar jalan, limbung di teras depan rumah sendirian, mungkin waktu itu ibu sedang ke dalam sebentar mengambil sesuatu. Hal yang mengerikan terjadi beberapa detik kemudian, di pandangan mata bapak saat itu tiba-tiba datang seekor anjing gila bergerak mendengus dengus mendekati saya. Melihat itu di kejauhan tentu hati beliau tak keruan rasanya, kalau digambarkan mungkin perpaduan antara rasa cemas, panik, geram dan ketidakberdayaan yang jadi satu karena jarak antara bapak dengan saya masih cukup jauh sedang anjing gila itu sudah berada di jarak terkam, tak akan sempat untuk berlari menyelamatkan saya atau sekedar melempar batu. Singkat cerita di tengah rasa ketidakberdayaan bapak, Tuhan menunjukkan kuasanya, lalu seekor kucing entah darimana muncul berlari memecah fokus si anjing gila yang kemudian sontak beringasan mengejar kucing. Bapak tak melanjutkan cerita bagaimana dengan nasib kucing itu karena selanjutnya yang terjadi setelah cerita usai adalah saya sibuk disirami rasa ketakjuban betapa lewat kuasa Tuhan, dahulu kala saya pernah nyaris gila tapi tak jadi karena diselamatkan oleh seekor kucing.

Episode menakjubkan lain adalah sewaktu saya masih SMA kelas satu, siang jelang sore di Kota Cirebon yang panas, saya dan empat teman lainnya pulang bersama dari gedung sekolah menuju simpang jalan raya sekitar dua sampai tiga ratus meter jauhnya, disanalah tersedia akses angkot yang kami tuju. Semua berjalan seperti biasa sampai pada titik dimana kami sadar ada yang tidak beres di depan, di simpang jalan itu sudah berkumpul banyak sekali anak-anak SMA tetangga memasang sikap tidak ramah, saya tentu tak sempat menghitung yang jelas jumlahnya banyak, puluhan atau mungkin mencapai seratusan orang. Kami mendadak gentar tak tahu harus bagaimana, lari mundurkah? atau tetap jalan ke depan sambil berusaha tenang? waktu itu dari bahasa tubuh, kami sepakat untuk berusaha tenang dan terus jalan karena kami yakin tidak pernah berbuat salah maka pastilah ada yang bisa dikompromikan, namun dugaan kami ternyata salah besar, beberapa detik kemudian tanpa aba-aba tiga – empat orang berlari menyerang lalu diikuti hampir semua orang di belakangnya, suara pukulan kencang tiba-tiba terdengar dekat sekali, rupanya persis teman disebelah menjadi korban pemukulan pertama siang itu. Detik selanjutnya suasana berubah menjadi begitu chaos puluhan orang telah mengerubungi kami berlima, karena melawan berarti memperparah keadaan maka dalam kondisi luar biasa ketakutan dan tak tahu apa-apa saya hanya bisa pasrah dikerubungi beberapa orang, merunduk dengan tangan melindungi kepala beberapa detik lamanya hingga pukulan bertubi-tubi akhirnya tertuju.. ke tas gendong saya yang berisi buku-buku, betul, dari sekian banyak pukulan mendarat itu mereka hanya memukuli tas saya!! Dan itu terjadi tak lama sampai mereka berpencar meninggalkan saya sendiri menuju ke empat teman saya yang lain lalu menghajar mereka sepuasnya. Singkat cerita saya akhirnya selamat tanpa cedera sedikitpun, sedang teman saya yang empat paling ringan mengalami lebam di pelipis matanya sisanya memar-memar hampir disekujur tubuh. Lagi, Tuhan menyelamatkan saya.

Kalau diingat-ingat ada banyak episode-episode besar lain dalam hidup yang membuat saya benar-benar begitu sangat bersyukur telah melewatinya, lulus spmb, lulus kuliah, diterima kerja, gaji pertama, menikah dan banyak lagi. Pada episode-episode besar itulah saya biasanya begitu merasa bahagia karena disitu saya benar-benar disadarkan betapa Tuhan ternyata memang maha penyayang, maha penolong, tak akan pernah membiarkan saya sendirian dibebani hal apapun yang tak bisa diselesaikan.

Sampai sekian lama saya merasa hal itu sudah benar, bahwa bersyukur atas episode besar dalam hidup adalah benar. Tapi justru disinilah letak permasalahan sebenarnya, apakah saya mesti selalu harus melalui episode besar dahulu agar saya bisa begitu menjadi orang yang bahagia karena bersyukur? Sedangkan episode besar sebetulnya tak selalu datang setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, padahal lebih dari separuh kejadian hidup saya sebetulnya adalah rutinitas harian yang itu-itu lagi, bangun pagi-berangkat kerja-pulang kerja-tidur. Sedangkan sudah jadi penyakit kita, bahwa setiap episode besar yang disajikan terus menerus lama lama akan jadi biasa, contoh kecil dulu bisa makan ayam goreng adalah hal besar dan satu kenikmatan yang saya syukuri, sekarang setelah saya bekerja dan punya penghasilan sendiri, makan ayam goreng menjadi hal yang mudah hingga lama kelamaan hilang rasa syukur saya, hilang nikmatnya. Maka saya menjadi orang yang tidak menikmati hidup dengan benar ketika setiap rutinitas dijalani dengan perasaan datar karena menganggap setiap hal adalah biasa, wajar dan sudah seharusnya.

Dari sini saya baru mulai mengerti, mereka yang menggenggam kebahagiaan bukanlah mereka yang segala apapun keperluannya bisa terpenuhi, tapi justru mereka yang sadar bahwa setiap kejadian apapun, sekecil apapun adalah atas izin Tuhan yang pasti baik. Orang yang sudah sampai di tahap ini akan terus berbahagia karena prasangka baiknya, mereka tak perlu menunggu episode besar untuk menyadarkan betapa Tuhan menyayangi mereka, karena bagi mereka bangun di setiap pagi adalah kesempatan bertobat dari Tuhan, air bersih di bak mandi adalah rezeki yang berharga dari Tuhan, motor yang tidak mogok adalah bukti kemurahan hati Tuhan, hujan deras di pagi hari adalah perlindungan Tuhan dari kecelakaan, ayam goreng adalah kenikmatan tak terganti pemberian Tuhan, sehat adalah kesempatan berbuat baik sebanyak-banyaknya, sakit adalah penghapus dosa, PC nge-hang adalah kehendak Tuhan agar kita bisa istirahat sebentar, kicauan burung pagi adalah sapaan ramah dari Tuhan dan seterusnya..hidup dalam kesadaran, tak perlu menunggu episode besar, karena bagi mereka setiap kejadian adalah episode besar yang sesungguhnya.

Ah, rasanya saya masih sangat jauh sekali bisa sampai kesana teman..

Sang Penilai

Diantara banyak alasan dalam hidup yang efeknya bisa membuat kita menjadi tidak bahagia, alasan yang paling buruk adalah ketidakbahagiaan karena melihat kebahagiaan orang lain. Celakanya saya terkadang mendapati diri dalam keadaan tidak bahagia karena orang lain berbahagia, suatu waktu misalnya saya mendengar kabar bahwa salah seorang rekan kerja ternyata digaji jauh lebih tinggi dibandingkan saya, padahal dari kacamata saya betapa orang itu adalah seseorang yang kepintarannya tidak terlalu menonjol, performanya rata-rata, ditambah lagi beban pekerjaannya pun saya rasa tidak jauh lebih berat daripada saya, maka sudah seperti otomatis hati saya yang tadinya tidak kenapa-kenapa mendadak menjadi tidak bahagia.

Saya kemudian mengingat-ingat, bahwa dalam hidup, saya secara tak sadar ternyata sering memposisikan diri bukan hanya sebagai pengamat ahli tetapi juga sebagai penilai, sewaktu kuliah misalnya saya menilai A teman saya, adalah orang yang tekun belajar dan memang cerdas sekali, maka berdasarkan penilaian tersebut saya beranggapan bahwa si A layak masuk perusahaan bergengsi, digaji tinggi dan menjadi professional handal, sebaliknya si B adalah orang yang cenderung biasa-biasa saja , tidak terlalu rajin dan tidak terlalu cerdas, maka saya fikir B tidak akan bisa seberhasil si A. Waktupun berjalan, ternyata anggapan saya sedikit keliru karena saat ini A & B sama-sama berada di perusahaan besar, yang mengherankan saya mendengar bahwa ternyata si B justru memiliki karir yang jauh lebih cemerlang dibanding A.

Saya menjadi belajar bahwa kebiasaan saya menilai dengan kacamata pribadi, ternyata telah menjadikan saya seseorang yang membuat standar sendiri akan ketentuan hidup, lalu melupakan bahwa ada Yang maha Melihat. Taruhlah kepada teman saya yang ternyata digaji tinggi tadi, ada semacam protes ketika mendengar dia bergaji tinggi, karena saya sudah menilai bahwa dia belum jadi orang yang cukup layak berdasarkan 2 hal: performanya biasa saja dan tidak lebih rajin. Lantas akhir-akhir ini saya menyadari, dalam hidup, bahkan penilaian untuk mementukan siapa yang digaji tinggi itu sebenarnya mungkin jauh lebih kompleks, komponen utamanya bisa jadi bukan hanya mana yang lebih menonjol performanya dan mana yang lebih rajin, sangat mungkin komponen utamanya adalah justru hal-hal yang kita tidak akan bisa lihat, penilaian yang utuh juga menyeluruh, sudah tentu yang mampu menilai seperti itu bukan kita melainkan hanya Sang Penilai.

Maka dalam hidup, kita harus belajar untuk tidak berhenti pada penilaian pandangan mata. Seperti kisah A dan B, bisa jadi meskipun B tidak terlalu pintar, tapi siapa tahu B adalah orang yang juga santun luar biasa pada orang tua hingga ridho orangtuanya lewat jalan yang unik telah mengantarkan B pada takdir langit yang baik. Bisa jadi rekan kerja saya itu tidak terlalu bagus performanya dan mungkin tidak terlalu rajin tapi siapa sangka dia adalah orang yang juga tidak pernah sekalipun berat hati membagi sebagian gajinya untuk di sedekahkan pada yang fakir maka Tuhan percayakan orang itu bergaji tinggi supaya lebih banyak yang terbagi rezeki. Bisa jadi orang-orang yang kita nilai biasa-biasa saja hingga tak cukup layak untuk mendapatkan sesuatu adalah orang yang justru kebaikan-kebaikannya sanggup mengetuk pintu langit juga tak pernah terlihat siapapun selain Tuhan, hingga takdir tak sedikitpun ridho akan sekecil keburukan apapun terjadi padanya. Karena itu, berhentilah menilai dari kacamata sendiri, pandangan kita terlampau sempit.

Syukur Detik Pertama

Ada yang salah dengan saya saat ini dan itu sungguh meresahkan. Saya masih ingat waktu pertama kali berangkat ke ibu kota untuk pelatihan sebelum masa kerja, ibu saya untuk ke sekian kalinya harus rela pasang badan, meminjam satu juta rupiah pada saudara berada. Berbekal uang pinjaman itulah saya pun akhirnya bisa berangkat ke Jakarta, saya fikir akan sangat cukup untuk bayar kost dan makan sehari-hari, tapi ternyata uang satu juta untuk tinggal di Jakarta bukanlah jumlah yang besar, selama satu bulan pertama itu saya harus pandai menghemat-hemat uang -dalam hal ini saya sudah cukup terlatih- beruntungnya lagi selama 1 bulan sebelum gaji pertama diberikan, perusahaan berbaik hati menyediakan makan siang, jadilah usaha penghematan ini berjalan tidak terlalu penuh derita.

Bukan itu intinya, waktu itu saya cukup kaget dengan biaya makan di Jakarta, kalaulah di Jatinangor dengan enam ribu rupiah saya sudah bisa makan kenyang dengan sayur dan lauk juga nasi sepuasnya, di Jakarta perlu minimal 10 ribu rupiah, jadilah makanan pilihan kegemaran yang pas dengan kondisi dompet ialah ayam goreng kaki lima pinggir jalan, memang enak, mungkin seperti itu rasa dari salah satu puncak pencapaian dari kenikmatan dunia, maka setiap suapan nasi dan cuplikan ayam dicocol sambal yang masuk ke mulut itu benar-benar dihayati dengan rasa syukur..nikmat sekali.

Di akhir bulan, saya untuk pertama kalinya mendapat gaji, lupa persis bagaimana rasanya, yang jelas ada kebahagiaan sekaligus keharuan yang bercampur, betapa mulai saat itu saya merasa telah dipilih Tuhan untuk jadi orang yang naik kelas, dari orang yang jadi beban menjadi orang yang membantu meringankan beban, untuk kesekian kalinya dalam hidup, saya disadarkan bahwa Tuhan memang betul pengabul doa-doa, saya jadi ingat betapa dulu di akhir-akhir masa kuliah yang serba sulit itu sering meneteskan air mata, minta supaya jalan saya dimudahkan untuk bisa jadi orang yang bisa sedikit saja meringankan beban orang tua, rasanya memang doa itu menjadi benar pasrah ketika kita merasa berada di bawah.

Nah mulai agak masuk ke intinya, bertahun-tahun setelah “perjalanan” pertama itu, ada nilai yang perlahan semakin menghilang, perasaan nyaman dan terbiasa untuk berpenghasilan tiap bulan rupanya telah membuat saya besar kepala, tak ada lagi sensasi rasa bersyukur yang sama ketika seperti bulan-bulan pertama menerima gaji, masih bahagia memang ketika melihat saldo di hari gajian, tapi sebatas rasa bahagia saja nyaris tanpa ada rasa syukur yang sama, seolah-olah sudah sepantasnya saya mendapat gaji atas kerja keras selama satu bulan, saya rupanya lupa bahwa gaji itu rejeki dari Tuhan.

Ini hanya sedikit contoh, jikalah dulu membeli ayam goreng kaki lima adalah sebuah kesyukuran yang sangat, maka saat ini saya sering makan seperti robot, hanya agar tidak lapar, mungkin jika saya makan di tempat yang sama seperti malam itu bahkan piring yang sama rasa ayam-nya tak pernah bisa senikmat dulu, bukan resep ayamnya yang berubah, ada nilai dan rasa dalam diri yang bergeser. Padahal kini rasanya tanpa berdoa pun Tuhan telah bermurah hati untuk terus mengalirkan rezekinya, misal lewat gaji yang diterima tiap bulan, kalaulah Tuhan mau, dulu itu bisa saja Dia membiarkan saya tak diterima di perusahaan manapun atau membiarkan saya berlarut-larut dalam skripsi lalu berujung drop out. Saya merasa kerdil, betapa saya tak pernah betul-betul “naik kelas” Tuhan telah berkali-kali mengangkat dari kondisi sulit dan saya hanya bersyukur di detik pertama saja, selebihnya saya sering lupa.

Koin Usang

Suatu hari, seorang pemuda miskin berjalan-jalan ke kota berniat mencari penghasilan, di tengah perjalanan itu ia menemukan sebuah koin, koin kuno, tapi sudah sangat usang.

Pemuda tadi lalu mencari bank terdekat hendak menukarkannya dengan uang “mungkin bisa dibelikan sekedar seliter atau dua liter beras” pikirnya.

Sesampainya di Bank rupanya Teller tidak mau menerima koin tersebut tapi ia menyarankan agar koin itu dibawa saja ke kolektor uang kuno, mungkin bisa berharga.

Singkat cerita si pemuda berhasil bertemu dengan kolektor uang dan tak disangka-sangka koin usang itu dihargai senilai 30 Dollar, pemuda bahagia bukan main, ia bersyukur dalam hati.

Mendapati uang 30 Dollar di tangannya ia hendak berjalan pulang, namun di tengah perjalanan ia menemukan tempat obral kayu, ia lalu terbayang lemari pakaian di rumahnya yang sudah berkayu busuk dan nyaris roboh, istrinya pernah berkata pada suatu hari kalau saja lemarinya bisa diganti. Pemuda tadi bermata binar, ia melangkah riang menuju tempat obral kayu, dibelinya beberapa batang kayu kokoh yang bagus. “Aku akan buatkan lemari yang paling bagus buat isteriku” katanya dalam hati. Kayu-kayu itu ia panggul di pundaknya, berat, tapi ia merasa bahagia.

Ketika melewati sebuah toko meubel, tiba-tiba pemuda tadi menghentikan langkahnya, ada orang yang memanggilnya dari dalam toko itu, rupanya si pemilik toko sekaligus pengrajin kayu, ternyata ia tertarik dengan kayu-kayu kualitas bagus yang dipanggul pemuda, tawar menawar pun terjadi, akhirnya kayu-kayu tersebut ditukar dengan sebuah lemari baru berharga 100 dollar, mereka sepakat. Pemilik toko lalu meminjamkan gerobaknya untuk mengangkut lemari pada si pemuda. Pemuda makin bersyukur, tak perlu lagi ia susah payah membuat lemari, di depan matanya sudah ada lemari baju untuk sang istri.

 Sudah setengah lebih perjalanan menuju rumah, pemuda tadi dihentikan oleh seorang ibu muda yang tertarik membeli lemarinya, “200 Dollar” kata ibu muda tadi menaksir, pemuda tadi menggeleng, ia sudah merasa cukup dengan lemari yang ia bawa, untuk istrinya. Tapi rupanya ibu muda tadi sangat menginginkan lemari yang dibawa pemuda “250 Dollar” katanya, pemuda tadi diam lalu berfikir lagi, sebetulnya agak enggan, namun karena tak enak dengan si ibu muda tadi si pemuda akhirnya mengiyakan, lalu 250 dollar sudah ada di tangannya. Dengan uang sebesar itu di tangan ia tak hanya bisa membeli sebuah lemari, tapi juga bisa untuk kebutuhan harian lain pikirnya, pemuda tadi lalu melanjutkan perjalanan pulang setelah mengembalikan gerobak toko meubel.

Rumahnya cukup jauh, ia harus melintasi area pesawahan yang sepi sebelum sampai ke rumah biliknya, hari sudah sore, langit sudah mulai gelap dan jalanan itu makin sepi. Lalu 2 orang perampok dengan tiba-tiba menyergap pemuda membawa lari 250 Dollar di saku bajunya, meninggalkan pemuda yang sudah kelelahan. Pemuda tadi menunduk dalam, langkahnya tak lagi ceria, perampok terus lari sambil tertawa-tawa

Di depan rumahnya, seperti biasa sang istri sudah menunggu, dengan atau tidak dengan uang tambahan di sakunya, istrinya selalu menyambut dengan senyum, senyum yang selalu saja membuatnya bahagia. Melihat wajah suaminya yang tak ceria, sang istri bertanya “kenapa abang?” lalu seperti disadarkan dari lamunannya si pemuda tadi menarik nafas, ia tersenyum lega, lega sekali. lalu ia bilang “tak apa-apa dik, abang cuma kehilangan sebuah koin usang yang abang temukan pagi tadi”

Malamnya ditemani istri ia makan lahap dengan tempe goreng hangat dan sambal buatan istri, di rumahnya yang mungil ia masih menemukan kebahagiaan, istri yang tulus dan setia, malam yang tenang, selimut yang hangat, lemari reyot di sudut ruang. Sungguh hari ini ia tak kehilangan apapun.

Seperti itulah Tuhan mengatur hak-hak kita, bila kita sadar kita tak pernah memiliki apapun pada mulanya, mengapa pada waktu kehilangan kita harus tenggelam dalam kesedihan yang berlebihan? Bersyukur atas apa yang ada, kunci bahagia  

*) ditulis dan diceritakan kembali dengan sedikit modifikasi sana-sini, tulisan aslinya berjudul koin penyok, sayangnya saya tidak menemukan siapa nama penulis aslinya 

Sepuluh Tusuk Sate Cinta

Bapak akhirnya punya rumah sendiri, setelah sekian tahun hidup dalam sekat-sekat sempit rumah petak tengah kota. Rumah itu bapak dirikan dengan tangan sendiri, keringat sendiri dan mencicil, kalaupun uang yang terkumpul akhirnya hanya cukup untuk membeli 1 atau 2 bak pasir dan 2 hingga 4 sak semen juga beberapa tumpuk bata merah, sedikit demi sedikit tetap bapak kerjakan; mulai dari merancang rumah dan tata ruang, mengaduk adonan semen-pasir, memasang batu pondasi, semuanya bapak kerjakan sendiri. Kalau begitu caranya memang tak akan habis fikir berapa lama yang bapak perlukan sampai rumah itu bisa berdiri “yang penting kerjakan meskipun mencicil, jangan cuma bisanya mimpi” itu kata bapak suatu hari. Bapak memang luar biasa berbakat, hampir dalam hal apapun ia bisa, malah kalau dihitung-hitung sejak aku kecil sudah berapa banyak usaha percobaan bisnis yang ia lakukan sampai saat ini: bisnis gantungan kunci dari kayu pinus, sablon kaos bola, usaha manisan kolang-kaling, cat tembok, sampai produksi saus botolan pernah bapak kerjakan, namun dari kesemua percobaan itu, membuat gantungan kunci dan sablon kaos terbilang yang paling sukses, sisanya biasanya kandas di bagian pemasaran, bapakku mengaku memang ia kurang cakap dalam hal pasar memasarkan karyanya sendiri.

Dalam pepatah sunda ada istilah “bakat ku butuh” kalau dijabarkan kurang lebih artinya ide atau bakat yang tumbuh karena didesak oleh kebutuhan, sejak kecil bapak belum pernah membangun rumah, baru kali ini ketika anaknya telah dua kecil-kecil, ia didesak tekad bulatnya: memiliki rumah sendiri, maka ia mulai belajar dari nol sekali. Rumah itu ia dirikan di sebidang tanah pelosok kampung di pegunungan utara kota Bandung sebagian ia beli dari uang gajinya yang ia sisih sedikit sedikit, sebagian lagi hasil meminjam saudara, “mengejar mimpi itu terkadang memang harus pakai nekat” kata bapak.

Di rumah pelosok Bandung buatan bapak itulah akhirnya aku terlahir, di udara-udara yang sejuk dan melega, puncak-puncak gunung gagah menghampar di sebelah utara dekat pandangan mata, ada sungai-sungai berair jernih mengalir disana aku pernah mandi di salah satu anak sungainya, lalu di selatannya menghampar sawah-sawah hijau, jalan tanah setapak, embun-embun menetes, lalu kumandang takbir menggema-gema di pagi Iedul Adha. Kata ibuku, makanan kegemaranku waktu kecil adalah sate, mau sate kambing atau ayam yang penting sate, bahkan kata ibu kehebatanku waktu kecil ialah mampu mendeteksi bau sate dari jarak lebih dari 100 meter dan biasanya setelah itu aku merengek-rengek minta sate. Maka demi kegemaran anaknya itu, sejak sehari sebelum Iedul Adha ibu telah menyiap-nyiapkan arang, tusuk sate dari lidi pohon kelapa, juga panggangan sate dari besi-besi yang nantinya akan disusun di atas bata merah.

“Malam ini kita bakal makan sate pak?” tanyaku waktu itu dengan berbinar-binar setelah diajak melihat  kambing-kambing disembelih di lapangan desa, “insya Allah” begitu jawab bapak, akupun berlari-lari kegirangan, tabiatku waktu kecil ketika kegirangan ialah berlari-lari keliling ruangan sambil sesekali jumpalitan, aku girang sekali, waktu itu sate adalah makanan mahal yang sangat jarang sekali masuk ke dalam perut kami. Maka entah sudah berapa kali aku jumpalitan siang itu, air liurku kutelan membayangkan lezatnya sate-sate ketika kukunyah lahap nanti malam.

Sore itu bau daging kambing dibakar semerbak tercium hidung, sepertinya para tetangga sudah mulai memasak daging kambing hasil pembagian petugas desa, aku berlari keluar rumah dan betul saja ada tetangga yang sedang asik membakar sate disana, akupun tersenyum senyum  sendiri “mah, ayo sekarang aja kita buat sate kambingnya biar barengan” kataku, tapi ibu bilang “sabar sebentar dek, dagingnya belum sampai”, aku sedikit kecewa sore itu, tapi tak apalah menunggu sebentar, malam sebentar lagi.

Kata ibuku, sampai malam larut hari itu tak ada satupun bungkusan daging kambing yang mampir ke rumah, mungkin petugas desa lupa menghitung atau kami memang tidak dapat bagian, aku tak sengaja terlelap sampai pagi ketika menunggui daging itu datang, sementara bapak yang merasa sudah berjanji padaku merasa bersalah, ibu membungkus kembali arang-arang yang telah dijemur lalu menyembunyikan tusuk sate dan besi-besi ditempat tak terlihat, berharap esok pagi aku yang terlelap sudah melupakan sate kambingnya.

***

Cinta bapak pada anaknya tak berupa kata-kata, ialah nyata. Cinta ibu pada anaknya tak sekedar terasa, ia menghunjam hingga ke dada.

Yang jelas sepertinya waktu itu tanggal tua, bapak sudah tak punya uang lebih untuk sekedar membeli setengah kilo daging untuk dibuat sate, sementara janji pada anaknya terlanjur terucap maka pantang baginya untuk beralasan, pagi itu bapak bertekad malam nanti ia akan menunaikan janji, memberikan anaknya; sepuluh tusuk sate.

Namun hingga sore uang tambahan yang ia harap dapat dari kantor ternyata belum ada, maka sudah terbayang bapak tak akan bisa membeli sate malam nanti. Tapi bukanlah bapak jika tak berusaha sekuat tenaga, menyerah dan melanggar janji adalah kata-kata yang ia coret dalam kamus hidupnya, ini bukan soal memanjakan anak dengan beberapa tusuk sate, tapi lebih dari itu, bapak sedang mengajarkan arti janji pada anaknya.

Maka sepulang kantor sore itu ia mengajak aku dan ibuku menuju sawah-sawah, membawa bekal beberapa kantong plastik, di sawah-sawah itulah banyak hama musuh para petani: keong mas. Aku yang tak tahu untuk apa, hanya ikut kegirangan ketika bapak dan ibu mengumpul-ngumpulkan keong ke dalam kantong plastik, rupanya bapak pernah membaca bahwa kandungan protein dalam daging keong mas tidak kalah dengan daging ayam atau kambing, bahkan di jepang keong mas ini menjadi salah satu konsumsi kesukaan. Maka ide untuk membuat sate keong terbersit di kepalanya, hasil memutar otak sepanjang jalan pulang kantor tadi: bakat ku butuh.

Malam itu, bapak dan ibu menggelar panggangan sate buatan dari besi-besi yang disusun di atas bata, lengkap dengan arang-arang yang telah dijemur kemarin, setelahnya aku berbahagia ketika sepuluh tusuk sate telah tersaji di depan mata, kata ibuku malam itu aku makan dengan lahap disuapi ibu dengan mata berkaca-kaca, sementara dalam hatinya merasa sesak “maaf ya nak, cuma sate ini yang bisa bapak beri malam ini”

Meski aku sudah lupa rasanya, pastilah sate malam itu adalah sate dengan rasa paling lezat yang pernah aku makan, karena itu bukan sekedar sepuluh tusuk sate kambing atau ayam,  malam itu aku makan sepuluh tusuk sate cinta.

Kisah Bujang Lapuk dan Kutukan Medusa Tipe Tiga (part 2)

Mahasiswi kedokteran gigi itu, dari gayanya saja sudah bisa kutaksir pasti orang tajir. Setelah sampai di depannya, mas-mas yang mengantarkanku pergi begitu saja, aku ditinggalkan di ruang besar itu, ruang praktikum massal, disitu aku bisa melihat beberapa pasien duduk pasrah sedang ditelanjangi mulutnya dengan beringas oleh para mahasiswi praktek, sangat mengerikan. Aku, mendadak tersadar, seolah bangun dari hipnotis panjang, sedang apa aku disini ya tuhan? Menyerahkan mulut dan segala isinya untuk di obrak-abrik seorang mahasiswi yang belum pernah aku kenal sama sekali bukanlah hal yang terdengar baik, bagaimana jika mahasiswi itu ternyata hampir DO karena IPK-nya terlampau kecil, lalu salah menyuntikkan cairan ke gusi? Akan jadi apa gigiku nanti? Ya Tuhan, apakah aku baru saja kena gendam? cuci otak? ..tolong, aku ingin pulang…

Ingin sekali aku kabur dari tempat itu, biarlah tak dapat jodoh disini pun tak apa, asal aku bisa melarikan diri, tapi apa alasannya? Bukankah tidak lucu jika tiba-tiba aku berkata “maaf mbak, gigi saya mendadak sembuh…terima kasih ya, saya permisi dulu”  tapi medusa di depanku itu melancarkan tatapan mautnya, aku tak bisa berkata-kata, tubuhku kaku. Aku bisa menangkap ragu dari mata mahasiswi itu, melihat ekspresinya seolah ia ingin berkata antara “ya Tuhan, mimpi apa aku semalam?” dengan “maaf mas, pasien gagal jantung bukan disini tempatnya”.

Mahasiswi itu dengan santun memberikan sikat gigi baru yang sudah diolesi pasta gigi penuh disepanjang bulu sikatnya, lalu menunjukkan tempat dimana aku bisa menggosok gigi terlebih dulu, yang ternyata lebih mirip tempat mencuci gelas-gelas kimia ketimbang wastafel. Aku berjalan kesana dan mulai menyikat gigi dengan baik dan benar, sementara itu aku mencoba menenangkan diri, mengatur kembali ritme napas agar tak terlalu sengal, mencoba menjernihkan pikiran, lalu berdialog memotivasi diri sendiri dengan kalimat positif “Tenang Sigit, mahasiswi itu bukan psikopat” atau “Sigit, kau hebat, jangan menyerah” atau “Sigit, kau sungguh-sungguh pria idaman”..kalimat-kalimat seperti itu agak berhasil menguatkanku, selesai menyikat gigi aku berjalan lebih mantap, angin sepoi-sepoi meniup-niup rambut dan kemejaku..aku mendadak terlihat begitu….elegan..

Aku duduk di kursi khusus itu sambil mencoba mempertahankan satu kondisi: usahakan agar sebisa mungkin terlihat elegan, kata-kata motivasi terus kulancarkan demi menguatkan hati. Aku menunggu saat-saat yang tepat untuk memulai percakapan, tapi mahasiswi itu terlihat terlalu serius mempersiapkan alat-alat prakteknya, jarum berukuran besar, pinset, gelas kimia berisi cairan biru, kapas tisu dan benda-benda lainnya, ia kemudian memakai masker dan sarung tangan. Sebetulnya, pencarian awalku adalah menemukan medusa tipe satu, yang demikian itu sungguh sangat sesuatu, dan jujur aku tidak begitu tertarik pada medusa tipe tiga dihadapanku ini..tapi kondisi ini sudah terlanjur, siapa tahu..ya siapa tahu.   

Ketika disuruhnya membuka mulut, aku membuka mulut dengan cara yang elegan, aku cukup percaya diri dengan kondisi gigi-gigku yang tak ada satupun yang berlubang, juga tidak terlalu berantakan..menurutku, ia menyoroti mulutku dengan senter dan mengamat-amati… kurasa ia jatuh cinta dengan gigiku. Aku masih berusaha terlihat elegan, lalu mahasiswi itu mengambil sebuah benda dan menyumpalkannya ke dalam mulutku, benda mengerikan itu ternyata benda pengganjal mulut, akibat benda itu posisi elegan yang sudah kupertahankan sepanjang waktu menjadi rusak seketika, ia telah memaksa mulutku untuk membuka lebar-lebar, nyengir maksimal yang membuat deretan gigi dari depan dan belakang bisa terlihat dengan jelas, ekspresi yang muncul adalah perpaduan antara ekspresi seorang idiot yang terlampau bahagia.

Aku menyebut benda itu sebagai pemusnah emosi negatif, percayalah, orang seperti apapun, dalam kondisi marah besar, kecewa, sedih yang mendalam, depresi tiada tara lalu anda sumpalkan benda itu ke mulutnya..maka mereka akan seketika terlihat sangat-sangat bahagia secara keterlaluan, pose yang sungguh tidak menawan. Dalam kondisi yang demikian itu, hancurlah sudah pesona dan wibawa, semua kata-kata positif tidak mampu lagi membangkitkan jiwa, berganti kikuk yang canggung. Di tengah kondisi yang serba kikuk itu, tiba-tiba datang seorang perempuan sebaya, ia menyapa mahasiswi dokter gigi di depanku “haiii…maaf, aku telat, tadi mendadak ada urusan dulu”, demi mendengar temannya datang, mahasiswi dokter gigi itu beranjak meninggalkanku dalam kondisi mengenaskan dan mengobrol basa-basi dengan temannya itu..beberapa menit lamanya.

Aku masih dalam pose tidak menawan ketika kemudian mahasiswi dokter gigi itu kembali lagi, kemudian dengan raut muka tanpa dosa ia meminta maaf, katanya “maaf mas, sebetulnya waktu praktek sudah habis saat ini, mas boleh datang lagi kesini lain kali” lalu ia mencatat nomor hanpdhone dalam secarik kertas dan memberikannya padaku ‘ini mas, kalau lain waktu mas mau periksa gigi lagi, boleh janjian dulu sama saya” …apa?? waktu itu harga diriku mendadak seperti diinjak-injak, kau sudah menelanjangi mulut dan segala isinya dengan benda-benda itu dan tidak diapa-apakan selain dilihat-lihat saja? Lalu sekarang aku diusir? Ah..keterlaluan memang, tapi serangan medusa-nya masih tetap mengendalikan tubuhku, aku jadi tak bisa berkata apa-apa hanya bisa berkata pasrah “oke, no problem mbak”…

Setalah berbasa-basi sekilas, aku pergi dari tempat itu, menahan malu yang menusuk-nusuk, kejadian tadi itu sungguh merobek harga diriku, alasannya sungguh di luar logika, waktu praktek sudah habis? tidak mungkin..lalu kenapa aku diterima, kenapa tidak menolak dari awal mula? Aku mendadak galau..dan langsung makan siang. Ah, sebetulnya aku tahu, kenapa aku secara tiba-tiba diusir, tentulah temannya yang baru datang tadi adalah kerabatnya yang sudah janjian menjadi pasien hari ini.

Sudahlah, meskipun tak mengenakkan, tapi kejadian tadi ada bagusnya juga..aku jadi tak perlu lama-lama kikuk dan terkena kutukan medusa tipe tiga, lagipula aku tak tertarik menjadikannya target jodoh. Aku melangkah gontai, meninggalkan skenario-skenario pencarian jodoh yang dituliskan di kepalaku sejak seminggu lalu, lalu melabelinya dengan stempel : NOT RECOMMENDED STRATEGY, ah mungkin memang ada yang salah, aku harus memperbaiki ikhtiarku, atau mungkin memang Allah belum merestuiku untuk segera menikah, mungkin aku memang harus menikmati masa-masa bujangku lebih lama lagi.. bukan, ini bukan akhir cerita, lebah itu hanya belum menemukan mawar yang tepat..dan lebah itu belum menyerah.