Sang Penilai

Diantara banyak alasan dalam hidup yang efeknya bisa membuat kita menjadi tidak bahagia, alasan yang paling buruk adalah ketidakbahagiaan karena melihat kebahagiaan orang lain. Celakanya saya terkadang mendapati diri dalam keadaan tidak bahagia karena orang lain berbahagia, suatu waktu misalnya saya mendengar kabar bahwa salah seorang rekan kerja ternyata digaji jauh lebih tinggi dibandingkan saya, padahal dari kacamata saya betapa orang itu adalah seseorang yang kepintarannya tidak terlalu menonjol, performanya rata-rata, ditambah lagi beban pekerjaannya pun saya rasa tidak jauh lebih berat daripada saya, maka sudah seperti otomatis hati saya yang tadinya tidak kenapa-kenapa mendadak menjadi tidak bahagia.

Saya kemudian mengingat-ingat, bahwa dalam hidup, saya secara tak sadar ternyata sering memposisikan diri bukan hanya sebagai pengamat ahli tetapi juga sebagai penilai, sewaktu kuliah misalnya saya menilai A teman saya, adalah orang yang tekun belajar dan memang cerdas sekali, maka berdasarkan penilaian tersebut saya beranggapan bahwa si A layak masuk perusahaan bergengsi, digaji tinggi dan menjadi professional handal, sebaliknya si B adalah orang yang cenderung biasa-biasa saja , tidak terlalu rajin dan tidak terlalu cerdas, maka saya fikir B tidak akan bisa seberhasil si A. Waktupun berjalan, ternyata anggapan saya sedikit keliru karena saat ini A & B sama-sama berada di perusahaan besar, yang mengherankan saya mendengar bahwa ternyata si B justru memiliki karir yang jauh lebih cemerlang dibanding A.

Saya menjadi belajar bahwa kebiasaan saya menilai dengan kacamata pribadi, ternyata telah menjadikan saya seseorang yang membuat standar sendiri akan ketentuan hidup, lalu melupakan bahwa ada Yang maha Melihat. Taruhlah kepada teman saya yang ternyata digaji tinggi tadi, ada semacam protes ketika mendengar dia bergaji tinggi, karena saya sudah menilai bahwa dia belum jadi orang yang cukup layak berdasarkan 2 hal: performanya biasa saja dan tidak lebih rajin. Lantas akhir-akhir ini saya menyadari, dalam hidup, bahkan penilaian untuk mementukan siapa yang digaji tinggi itu sebenarnya mungkin jauh lebih kompleks, komponen utamanya bisa jadi bukan hanya mana yang lebih menonjol performanya dan mana yang lebih rajin, sangat mungkin komponen utamanya adalah justru hal-hal yang kita tidak akan bisa lihat, penilaian yang utuh juga menyeluruh, sudah tentu yang mampu menilai seperti itu bukan kita melainkan hanya Sang Penilai.

Maka dalam hidup, kita harus belajar untuk tidak berhenti pada penilaian pandangan mata. Seperti kisah A dan B, bisa jadi meskipun B tidak terlalu pintar, tapi siapa tahu B adalah orang yang juga santun luar biasa pada orang tua hingga ridho orangtuanya lewat jalan yang unik telah mengantarkan B pada takdir langit yang baik. Bisa jadi rekan kerja saya itu tidak terlalu bagus performanya dan mungkin tidak terlalu rajin tapi siapa sangka dia adalah orang yang juga tidak pernah sekalipun berat hati membagi sebagian gajinya untuk di sedekahkan pada yang fakir maka Tuhan percayakan orang itu bergaji tinggi supaya lebih banyak yang terbagi rezeki. Bisa jadi orang-orang yang kita nilai biasa-biasa saja hingga tak cukup layak untuk mendapatkan sesuatu adalah orang yang justru kebaikan-kebaikannya sanggup mengetuk pintu langit juga tak pernah terlihat siapapun selain Tuhan, hingga takdir tak sedikitpun ridho akan sekecil keburukan apapun terjadi padanya. Karena itu, berhentilah menilai dari kacamata sendiri, pandangan kita terlampau sempit.

Leave a comment