Kisah Bujang Lapuk dan Kutukan Medusa Tipe Tiga (Part 1)

Bagi lelaki sepertiku, mencari jodoh itu adalah satu perjalanan yang mesti diusahakan, tidak dengan diam menunggu untuk kemudian berakhir dijodohkan, tidak salah memang, tapi entahlah, bagiku itu seperti kurang lelaki, kurang menenangkan hati, bukankah gelagat lebah adalah menemukan bunga? ia tertarik, melakukan observasi, lalu ia dekati baik-baik, dan aku memilih menjadi lebah, ketika aku beranjak dewasa nanti lalu merasa cukup siap dan tak tahan untuk menikah, yang jadi tujuan utamaku adalah mencari sekuntum bunga penarik hati untuk dijadikan pendamping hidup yang tepat, bukan dicarikan. Maka ini adalah salah satu kisah pencarian itu..

Aku sudah bekerja waktu itu, belum genap setahun, dan menurutku adalah hal yang berbahaya bagi seorang bujang tulen berpenghasilan, tinggal sendirian di kota metropolitan ditemani segala gemerlap godaan dunia di dalamnya, maka demi menjaga diri dan kemuliaan aku bercita-cita untuk sesegera mungkin menikah, tapi memang demikianlah karakteristik hidup; rencana-rencana yang sudah dirancang sejak dulu tidaklah semuanya bisa dijalankan, ketika ternyata seseorang yang sudah kau kunci sebagai target untuk jadi pendamping ternyata telah menentukan pilihan dan itu bukan kamu, maka yang bisa kita lakukan adalah tetap berdiri, terus berjalan sampai menemukan, kata orang memang begitulah cara hidup mendewasakan, kadang melalui benturan-benturan.

Aku memutar otak, dalam kondisi sudah bekerja seperti ini, sebagian besar waktu tentu akan habis dalam lingkungan kerja yang pasti berkutat disitu-situ saja: pilihannya antara tempat kost atau kantor, tidak akan ada cukup waktu seperti kuliah dulu: berkenalan dengan banyak orang berbeda-beda jurusan, berorganisasi, atau ikut dalam satu panitia kegiatan dan secara sengaja atau tidak, juga bisa menemukan yang menarik itu; satu atau dua mawar yang nantinya kira-kira akan cocok untuk dijadikan pendamping hidup. Nah dalam dunia kerja, tentu kesempatan yang seperti itu akan semakin tipis, dan kadang interaksi yang ada, akan habis sebagian besar hanya untuk keperluan serius tentang pekerjaan, jarang sekali personal. Maka kulancarkan strategi jenius..

***

Gigi gerahamku tumbuh satu lagi di ujung belakang, tapi tak normal: keluar jalur dari gigi-gigi yang lain, entah karena sedang sensitif atau terlalu depresi kehilangan target jodoh, kondisi yang seperti itu membuatku menjadi lincah, tak ada hubungannya dengan sakit gigi, tapi aku tiba-tiba jadi ingat betul tentang bagaimana temanku menemukan pendamping hidupnya yang seorang dokter gigi, atau juga pengalaman temanku yang lain yang kenal dekat dengan seorang mahasiswi kedokteran gigi setelah iseng memeriksakan giginya di rumah sakit itu, bukan rumah sakit biasa tapi rumah sakit khusus praktek para mahasiswi kedokteran gigi di kampus kami, lalu di kepalaku, tempat itu mendadak menjelma surga, tempat untuk menemukan jodoh bagi bujang-bujang lapuk sepertiku. Belum lagi, berdasarkan analisa kami waktu kuliah, ada dua jurusan di kampus yang di dalamnya bertebaran mahasiswi-mahasiswi idaman para mahasiswa, ialah Jurusan Farmasi dan Kedokteran Gigi, kemudian kami yang cerdas ini memberi kepanjangan FKG yang Fakultas Kedokteran Gigi itu menjadi Fakultas Kecengan Geologi, nah.. dokter gigi! aku berbinar-binar.

Akhir minggu kutempuh perjalanan dari Jakarta ke Bandung, kujalankan skenario tingkat dewa, memeriksa gigi sambil mencari jodoh..itu misiku hari itu, nah..menikah itu tujuan mulia maka tak perlu malu-malu, juga mencari seseorang yang menarik hati untuk diperistri adalah manusiawi jadi tak perlu ragu..aku meyakinkan dalam hati sambil melangkah masuk ke gedung itu, lalu merasa mencium aroma.. sepertinya jodohku semakin dekat, dadaku tiba-tiba berdebar-debar, sampai detik itu aku merasakan semacam sensasi, yaitu mendadak kagum pada diri sendiri. Aku geleng-geleng kepala, tak pernah aku seberani ini sebelumnya..mendekati wanita tak dikenal, memeriksakan gigi dan lalu mengajaknya berkenalan..untuk kemudian memperistri.. ah, skenario itu terdengar jenius bukan? meskipun sebetulnya dari sejak dulu, mendekati wanita untuk sesuatu yang serius adalah hal yang tidak mudah, bagiku tiap wanita cantik adalah medusa, biasanya kemampuan bicaraku yang dari awal sudah pas-pasan bisa mendadak sirna ketika berhadapan dengan wanita, lalu kaku. Tapi aku sudah terlanjur melangkah ke medan perang, pantang untuk mundur tuan!

Ternyata rumah sakit gigi itu, meskipun diisi hanya oleh mahasiswa/i praktek, pasien yang berkunjung cukup banyak juga, dan setelah aku mengantri cukup lama sambil mengamati sekitar, aku mendapati sebuah kesimpulan bahwa ternyata, sebagian besar pasien yang datang adalah kerabat mahasiswa/i praktek yang sudah memiliki janji, memang logis, tentu saja pasien berakal sehat akan lebih memilih rumah sakit serius yang ditangani oleh dokter betulan..bukan mahasiswa/i yang belum mempunyai sertifikasi resmi, mungkin disitu cuma aku satu-satunya pasien setengah gila yang berkebutuhan khusus.

Tiba giliranku dipanggil, aku diantar seorang petugas yang langsung mengajakku ke lantai dua lewat tangga, dalam perjalanan itu kedua tanganku mulai dingin, beban di kaki terasa makin berat tiap kali kaki berhasil menaiki satu anak tangga, adrenalinku membuncah membuat otak yang mendadak tegang menginstruksikan jantung untuk memompa darah dengan tak keruan cepatnya, ritme nafasku jadi stakato: patah-patah, pendek dan tersengal sengal, hal yang demikian itu mau tak mau membuat hidungku jadi kembang-kempis, sementara keningku juga turut mengkerut-kerut sibuk membayangkan seperti apa rupa mahasiswi yang akan mengurusi gigiku nanti, jika digambarkan kondisiku waktu itu lebih menyerupai pasien bengek akut yang tidak bisa buang air besar selama seminggu ketimbang pasien sakit gigi ringan. Perjalanan yang berat, aku sampai di ruangan itu…

***

Di dunia ini, ada tiga tipe medusa: yang pertama adalah wanita manis berjilbab panjang, bermata teduh, bertingkah santun, yang kedua: wanita manis yang cuek yang tomboi, yang ketiga: wanita manis feminim, menggunakan rok dibawah lutut, berambut sebahu. Jika aku bertemu salah satu diantara ketiga wanita medusa tersebut maka bisa dipastikan tubuhku mendadak kaku, dan yang ada di depanku kali ini adalah medusa tipe ke tiga, dari jauh aku mulai terkena sihirnya..sedikit kaku..

Arang hitam, Tanda lahir & Reinkarnasi

Kandungannya baru berusia 8 bulan kurang waktu itu, prematur, tapi sang bayi sudah tak sabar ingin segera melihat dunia, maka ia pun terlahir; anak pertama, lewat rahim ibu, laki-laki.

Ibu terlalu keletihan, kebiasaan dari kecil membuatnya tak bisa diam, berleha-leha di waktu senggang dengan hanya tidur-tidur saja adalah kegiatan yang membuatnya merasa berdosa, maka ia tak bisa diam..apa saja dikerjakan, mencuci baju, menyapu halaman, mengepel, masak, menyikat kamar mandi  dan apapun, seingatku ibu baru mau akan beristirahat kalau badannya benar-benar keletihan atau Esmeralda Cinta yang Hilang mulai tayang di televisi, selain karena 2 hal itu ibu sepertinya sulit dihentikan.

Waktu kehamilan pertama pun masih begitu, ia bekerja terlalu keras, jarang beristirahat, bukan..bukan ia tidak mau istirahat atau kurang memperhatikan keselamatan janin,  “waktu itu kondisi sedang sulit, mama harus kerja lebih keras” begitu kata ibu, aku cuma mengangguk, lalu membayangkan sendiri  perjuangan hidup dua pasangan muda dari kampung yang hijrah ke kota besar tanpa satupun kerabat, kisah yang demikian itu selalu terdengar heroik. Aku tak bertanya lebih jauh..biar nanti ibu cerita sendiri kisahnya

Dan hari itu jadi hari yang tidak bisa diprediksi, ibarat matahari terbit jam empat pagi, bayi itu lahir prematur, bayi laki-laki, namun terlampau mungil, tapi biar bagaimana bapak dan ibu menyambutnya dengan kebahagiaan yang meluap-luap..syahdu, maka untuk pertama kalinya perempuan muda itu resmi jadi ibu dan lelaki tanggung itu resmi dilabeli” bapak” , bergetar ia melantunkan adzan di telinga sang bayi, setengah berbisik.. haru, istrinya terbaring lemah, tapi matanya berbinar.

Anak lelaki itu lahir, menyalakan harapan-harapan ibu, membarakan tekad bapak, mengisi ruang kosong sebagai sebuah keluarga. Hari itu, mereka merasa sempurna.

***

Perjalanan hidup bapak dan ibu memang terjal berliku, mereka terbiasa berteman dengan ujian dan nadi mereka adalah perjuangan. Mereka adalah orang yang kuat.

Takdir itu memang urusan tuhan, tak ada yang tahu apa yang Ia sudah gariskan. Maka sekali lagi, hari itu jadi hari yang tak bisa diprediksi, seperti kelahirannya, kepergian sang bayi terlalu tiba-tiba, hanya beberapa jam setelah lahir, menyesakkan dada ibu yang masih terbaring keletihan, menghampakan tiba-tiba dada bapak yang terlanjur disesaki kebahagiaan. Innalillahi wainna ilaihi rajiun 

Bayi itu baru saja selesai disholatkan, ketika tiba-tiba seorang lelaki paruh baya maju ke depan menggoreskan arang hitam ke kepala dan paha kanan sang bayi, ia tetangga sepuh. Bapak tadinya mau mencegah, tapi urung ketika lelaki tua itu berkata “biar ia kembali lagi” katanya.

Bapak bukannya percaya, bagaimanapun yang namanya reinkarnasi, selain tak masuk di akal juga bukanlah sesuatu yang dibenarkan dalam agamanya..bapak cuma menghormati lelaki sepuh itu, maka ia diam saja. Bayi itu dikebumikan..

***

Tuhan maha melihat maha mendengar, lewat sayup doa ibu yang ia sampaikan di malam-malam gelap, lewat dzikir yang berdenyut-denyut di waktu dhuha, ibu terbiasa hidup susah, tapi kehilangan adalah hal yang berat.. ia ikhlas, malaikat menyampaikannya, maka Tuhan menganugerahinya dua anak perempuan sehat setelahnya

Beberapa tahun kemudian, tengah malam diwaktu hujan, anak keempat itu dilahirkan, ia bayi laki-laki, lahir dengan membawa tanda, tanda bahwa Ia telah tunaikan janji-Nya, bahwa tiap doa yang ibu lafalkan itu, dzikir yang ibu hembus hembuskan itu dan kesabaran dalam ujian-ujian, sama sekali tidak Ia abaikan: bayi itu dilahirkan dengan tanda lahir berwarna coklat pudar dibagian kepala dan paha kanannya, persis arang hitam yang digoreskan pada bayi pertamanya dulu.

Bukan, ini jelas bukan reinkarnasi..kau tahu? Bayi lelaki itu adalah aku

Do’a Pemabuk

Suatu malam, dua orang perampok mengendap-endap, sembunyi di ujung gang sepi, mereka berniat buruk: siapapun yang lewat akan jadi mangsanya.
Setelah lama menunggu, datang seorang pemabuk, ia sendirian, berjalan sempoyongan. Tentu dua perampok tadi girang, mangsanya lemah: mabuk dan sendiri, tanpa pikir panjang mereka menghadang si pemabuk, satu perampok mengalungkan celurit dilehernya, satu orang lagi mengancamnya dari depan: “serahkan semua uangmu atau mati?!!”

Si pemabuk panik bukan kepalang, baru kali ini ia dikalungi celurit, lututnya gemetaran tak bisa berhenti, gigi-giginya gemelutuk saking takutnya. Ia segera merogoh kantung celananya depan-belakang, tapi tak ada sepeser uang pun tersisa..habis untuk beli minuman, tiba-tiba  dia ingat..dia masih menyimpan sekeping uang perak di saku bajunya, ia pun cepat meraba sakunya..tapi sayang sekali, tangannya tak menemukan uang itu di sakunya, si pemabuk makin panik..keringat dingin mengalir deras di dahinya

Dua perampok yang tak sabar itu mulai mengancam, suaranya makin meninggi “Mau mati kamu hah??!!” ..si pemabuk di ujung tanduk, ia merasa kali ini nyawanya tak akan bisa selamat, maka dalam titik nadir terendah itu dia mengingat satu nama, satu nama usang yang entah sejak kapan terakhir kalinya dia ingat: Tuhan.

Khusyuk si pemabuk berdoa dalam hati “Tuhan, jika kau selamatkan aku dari dua perampok ini, maka dengarkanlah janjiku ini tuhan…aku tak akan pernah meneguk satu tetespun minuman haram itu lagi”. Dua perampok yang sudah geram mulai habis kesabaran, ditinjunya perut si pemabuk sampai menunduk, sebelum tendangan menghantam kepalanya dan celurit merobek perutnya tiba-tiba sekeping uang perak terjatuh dari bajunya.. dua perampok itu urung marah,  dihempaskannya tubuh pemabuk, lalu dengan cekatan segera memulung uangnya dan pergi meniggalkan si pemabuk..

Pemabuk diam, dia baru saja merasakan kelegaan yang sangat, dia tak percaya beberapa detik lalu dia ada di ujung kematian, namun selamat karena satu  keping uang perak, “ini namanya kebetulan” ujarnya dalam hati..ia terkekeh-kekeh senang, ia berdiri  dan berdo’a: “Tuhan, lupakan doaku yang tadi” lalu si pemabuk berjalan pulang…

***

Kisah diatas diceritakan ulang dari majalah intisari dengan sedikit modifikasi, pernah juga dituliskan dalam Twitter milik Resensi Ilmu

Pembelajar Cinta

Ibuku menikah muda, lulus SMP dia dipinang oleh pemuda tanggung berkumis tipis yang baru saja lulus STM, kelak nanti dialah yang jadi bapakku, tak seperti aku, tulang rusuknya telah sempurna ketika umurnya masih sangat muda, keputusan besar itu bukan tak ia timbang matang-matang tapi kedewasaannya memang sudah mumpuni di usia dini, budaya dan didikan keluarga, itulah yang membedakan aku dengan bapak-ibu ku. Kalau dipikir-pikir, waktu aku lulus SMA dulu, memikirkan tentang pernikahan sama dengan berhalusinasi: jauh dan imajiner.

Entah bagaimana cerita awal mula bapak-ibuku bertemu, yang aku ingat ibu tersenyum-senyum ketika bercerita soal masa pacarannya yang malu malu dulu, “bapakmu dulu nyentrik, bapak bersepeda ke rumah mama dari kampung sebelah, celananya cut bray, kemeja ketat, rambutnya gondrong kribo, persis Rhoma Irama. Pernah bapak datang pakai sepatu Djanggo (sepatu tinggi khas koboi) sambil bergaya dia nyalakan korek pentolnya di sepatu itu, mungkin menurut bapak itu keren, tapi dalam hati mama itu amit-amit” ibuku bercerita sambil menggoda ayah, aku cekikikan sendiri.

Memang betul kata ibu, bapak itu nyentrik, pernah kulihat album foto bapak waktu muda, gayanya kurang lebih sama: kaus ketat, celana panjang cut bray, posenya tiada dua: dua tangannya disilang didada, kaki satunya diangkat diatas batu,  alamak senyumnyaa, dan ia berdiri di depan tumpukan batu bata merah. Atau foto satunya lagi: rambut kribo ala ahmad albar, bertelanjang dada, matanya menatap serius sambil menghisap rokok yang tak nyala, latar belakangnya: poster Rhoma Irama berpose persis sama, geli sekali.

Kata bapak, untuk menjerat hati perempuan memang perlu maksimal, “mamamu taunya bapak itu klimis, padahal sore sebelum ngapel, badan bapak berlumur lumpur, abis disuruh kakek mbajak di sawah seharian”, aku cuma mesem-mesem.

Kata mama “yang naksir bapak dulu itu banyak , cantik-cantik” lalu ia melanjutkannya dengan menyebut satu-satu wanita yang jatuh hati pada bapak, “Tapi, yang naksir mama juga engga cuma bapak, ada juga temen laki-laki mama waktu smp dulu yang sering kirim-kirim surat, orangnya ganteng loh engga kaya bapakmu”  kata mama sambil melirik bapak, bapak cuma mesem, lantas aku bertanya “kenapa mama pilih bapak?”, ibu cuma tersenyum, bapak yang menjawab dengan canda “kalau mama pilih yang lain, kamu dan adik-adikmu engga akan lahir ke dunia”

Cinta itu komplit,  sederhana tapi  rumit, seperti cinta bapak pada ibu atau ibu pada bapak, ia tak menilai paras, tetapi merasa, lalu percaya saja akan dibawa kemana cinta yang masih muda itu oleh yang dipilihnya, maka ibu akhirnya menerima pinangan bapak, bentuk cinta yang sederhana, landasannya kepercayaan. Pun bapak sejak awal hanya memilih ibu, bukan gadis lain, bukan karena kecantikannya tapi karena kesederhanaan ibu, itu pasti. Ah.. cinta memang sederhana, tapi komplit.

***

Mungkin, cinta adalah pertanda karena itu bapak memilih ibu, ketika bapak belum berpenghasilan, ibu dengan legowo menerima pinangan bapak, lalu diajaknya ia meninggalkan kampung halaman, merantau ke Kota Bandung berdua saja, kemudian mengontrak sebuah rumah petak di gang sempit menemani hari-hari bapak mencari kerja, menyambut pulangya dengan senyum lalu menyeduhkan teh tawar serta nasi garam dan sambal, atau apa saja yang ada, itu romantis. Membesarkan bayi yang baru lahir dengan telaten walau tanpa susu kaleng penambah gizi, itu perjuangan yang manis. Lalu sama-sama sujud syukur selepas maghrib ketika kemudian penantian panjang itu tiba: bapak diterima jadi PNS, itu adalah nostalgia.

Mungkin cinta adalah pertanda, karena itu ibu memilih bapak, seorang lelaki pantang menyerah, melindungi keluarganya dengan apa yang ia bisa, ia tahu gaji PNS-nya tak akan cukup menghidupi anaknya yang enam, maka ia membanting tulang, dengan itu bapakku menjadi multi-talented: seorang PNS, sales pemasaran manisan kolang-kaling buatan ibu, pengrajin kayu, dan tukang sablon. Bapak rela menguras tenaga sampai malam buta, lalu berangkat kantor esok paginya, ia tahu rezeki tak datang sendiri, maka itu dia menjemput, demi cinta katanya..

Menguraikan cinta itu tak akan habis, maka hanya waktu yang dapat memahami cinta, seperti waktu meniupkan cinta ibu pada bapak, seperti waktu yang membisikkan cinta bapak pada ibu, mereka: pembelajar cinta.

Lamun Senja

Kita masih saja duduk di tepian, mengenang senja yang baru pergi padahal sudah tiba gulita

Rasanya kupandang langit masih tetap jingga, kata temanku langit sudah hitam…sambil lalu ia beringsut menjauh kemudian pergi diam diam

Aku masih menghitung burung-burung di kejauhan yang terbang sama-sama, menukik sama-sama, lalu pada ujung mata hilang sama-sama…

Sambil tersenyum aku bertanya “bukankah kita sama seperti burung itu kawan?”… tapi jawab hening…rupanya ia sudah berjalan pulang

Aku teriak “ Hei kawan, bukankah kesini jalannya pulang?” ia tetap diam..

Waktu kupandang langit sekali lagi, ternyata memang langit sudahlah hitam

Aku tercenung….lalu pulang sendiri meninggalkan tepian, 

malam ini, aku akan bermimpi tentang burung-burung senja yang terbang sama-sama, menukik sama-sama, lalu kemudian hilang sama-sama…

Sleep Paralysis

Bayangan hitam itu muncul lagi…berkelebat, menjerit2 berteriak kencang dikedua telinga lalu tertawa tawa, aku menggigil ketakutan tapi kaku…tubuhku tak bisa bergerak, ingin bangun tapi serasa diikat sekujur tubuh seperti kesemutan, ingin teriak tapi tercekat…aku luar biasa ketakutan…semakin berontak semakin ia menjerit kencang semakin kuat ia mencengkeram tubuh…pelan pelan aku pasrah menyerah…sampai ia pergi, aku bergegas bangun…itu mimpi? bukan…itu nyata…aku masih bergetar…ketakutan…

Malam ini mungkin malam keseratus kalinya aku mengalami hal serupa, dari sejak kecil aku sering mengalami itu saat tidur…biasanya terjadi tak lama setelah terlelap, orang tua bilang itu namanya tindihan atau “reprepan”, katanya sih itu terjadi karena ada mahluk halus yang menindih tubuh kita, di Jepang bahkan dikenal dengan istilah “kanashibari” yang artinya mengikat…ada mahluk halus yang mengikat tubuh kita…(wedew!! serem abiss…)

Tak puas dengan jawaban yang berbau mistis, kemarin (karena baru inget) aku nanya dukun: mbah google…dan ternyata eh ternyata kejadian ini bisa dijelaskan secara ilmiah, yang dikenal dengan istilah “sleep paralysis”…menurut penelitinya yang bernama Dr. -entah siapa lupa namanya-  penjelasannya  begini: dalam kondisi normal ada 4 tahap yang dilalui gelombang otak sampai kita tertidur sempurna, dimulai dari keadaan sadar, tertidur ringan, tidur dalam, tidur lebih dalam, lalu tahap terakhir adalah REM (rapid  eye movement) di tahap inilah kita biasanya bermimpi. Nah, pada orang yang kelelahan atau kurang tidur ke 4 tahapan ini tidak berjalan dengan sempurna..biasanya melompat dari kondisi tertidur ringan langsung ke tahapan REM, sleep paralysis terjadi ketika otak terbangun secara tiba2 dari kondisi REM sedangkan tubuh masih tertidur, itulah penyebabnya kenapa tubuh tak bisa bergerak meskipun kita dalam kondisi sadar..biasanya disertai halusinasi bayangan gelap bawaan mimpi. Selain karena hal diatas, sleep paralysis juga dapat terjadi karena beban pikiran yg terlalu berat (kondisi stress)..

Jadi, biar tidak terulang lagi, ikuti pola tidur yang cukup dan teratur, jangan terlalu banyak beban pikiran…dan tetep jangan lupa berdoa sebelum tidur..   pernah suatu hari aku mengalami sleep paralysis…empat bayangan hitam berambut panjang mengelilingi tubuhku yang diam tak bergerak tak berdaya…mereka tertawa2 kencang…mukanya menyeringai….seremmm…

Kisah lelaki dan Benda-benda imitasi

Badanku ini, semenjak kecil memang tak biasa dimanjakan oleh barang-barang berkelas dan ber-merk, jelas sulit tentu untuk seorang anak dari sebuah keluarga berkepala seorang PNS beranak enam, maka rezeki yang sudah diatur besarannya itu sengaja dicukup-cukupkan terutama untuk kebutuhan pangan, sandang seadanya, lalu kalau ada lebihnya baru ke papan. Memang jadinya ibu harus memutar otak sangat keras untuk rezeki yang sebesar itu bisa dibagi-bagi secara pas, pastilah karna itu pula ibu jadi sering pusing-pusing.

Sewaktu ibuku masih beranak tiga, waktu anak-anaknya masih sd termasuk aku, sudah jadi semacam adat istiadat bahwa sepatu sekolah kami haruslah sepatu bermerk warior dan tidak boleh tidak, tentu kau tau sepatu warior kan? sepatu warior adalah sepatu yang paling kukenal detil2nya luar dalam, kurang lebih adalah sepatu berbahan kain tebal seperti jeans berwarna hitam didasari karet warna putih, garis merah tipis berwarna merah mengeliling dari ujung ke ujung sedikit di bagian atas telapak, dan yang paling penting: selalu di bagian mata kaki-nya terdapat tempelan karet bulat pipih warna putih, di situlah terdapat  gambar timbul seorang pria indian setengah badan telanjang dada sedang menarik panah dari busur atau versi lainnya sedang mengayun kapak, kupikir pria indian luar biasa inilah yang bernama warior itu karna dibawahnya terpampang tulisan “warrior” dengan huruf sambung.

Seingatku ibu mengganti sepatu kami tidak setiap tahun, tapi setiap sepatu itu mulai tak enak dipakai karna bawahnya berlubang lubang sehingga kerikil bisa masuk menusuk-nusuk, atau ketika bagian depannya menganga sampai bau kaus kaki bisa mengganggu isi kelas. Karna harganya yang bersahabat maka warior dijadikan sebagai sepatu favorit kami, bukan nike, adidas, atau sepatu hitam berlampu yang waktu itu sempat ngetrend sampai hampir setengah murid di kelas memakainya, aku? tentulah pelanggan setia warior sampai akhirnya ada saudara merelakan sepatu bekasnya yang bukan warior kepadaku waktu SMA.

Masih di jaman sd pula, sempat aku merajuk berhari-hari untuk dibelikan tas gendong ber-merk Exsport saja ketika kenaikan kelas nanti, bagaimana tidak? Hampir semua anak lelaki saat itu dengan keren menggendong tas bertuliskan Exsport..dan entah kenapa tiap anak lelaki yang menggendong tas Exsport eselalu akan nampak wibawanya dimata orang-orang terutama para murid perempuan, maka ketika akhir tahun tiba ibuku benar2 membelikan tas impian ber-merk sama hanya saja rupanya tertinggal satu huruf bukan Exsport teman, tapi Esport, meskipun masih sd aku sedikit faham tentang arti gengsi, enggan tas Esport itu untuk kubawa ke sekolah walupun tetap saja aku memakainya, toh aku punya ide brilian diakhir-akhir..kupakai tas itu serampangan supaya cepat jebol dan dibelikan yang baru, yang tak Exsport pun tak apa, tapi dimana-mana memang setiap yang bernama ibu itu selalu sangat menyayangi anaknya..maka ketika tas itu sudah benar2 rusak ibu membelikannya dengan yang baru, kali ini dengan huruf lebih besar dibelakangnya “ESPORT”..lalu aku menyerah.

Mengenai merk2 tiruan ini bisa disebut sebagai imitasi, tentulah berjubelan di negeri ini, produsen amatiran yang latah berlomba mendompleng merk2 ternama, logo dibuat serupa kemudian memplesetkannya 1-2 huruf hingga kelihatan sama. Ibuku bukannya terlalu lugu untuk membedakan mana yang merk asli mana yang imitasi, hanya saja karena hampir selalu dilanda krisis budget yang minim membuat ia begitu terlatih sampai ke level maestro pemegang teguh prinsip ekonomi sejati: mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan biaya serendah2nya, nah di pikiran ibuku ini tentulah barang2 dengan merk tiruan berbiaya produksi rendah itu jadi solusi; ah anak-anakku tetap dapat mengikut trend walau dengan imitasi. Maka ketika aku telah smp, dibelikannya aku sepasang sandal gaya setengah resmi, katanya buat pergi ke acara2 yang lumayan penting, masih aku ingat sandalnya warna abu-abu, empuk dan enak dipakai, tapi tak enak dilihat karna ada tulisan mencolok mata berwarna kuning coklat “Nyu Era”, sedikit-sedikit aku jadi ingat pelajaran bahasa indonesia juga, yang model begini ini kalo tidak salah termasuk kedalam kategori homofon..beda tulisan tapi sama pelafalan..ah benar2 strategi produsen jenius bukan beneran. Maka pada suatu hari yang mendadak mendung, mukaku merah merona ketika teman2ku cekikikan karna aku memakai sandal yang sama persis dengan temanku hanya saja berbeda tulisan..New Era.

Berdasarkan pemikiranku waktu beranjak sma, masa sma adalah masa yang tidak bisa disia-siakan begitu saja, adalah saat yang tepat untuk unjuk gaya, artinya semakin kau bergaya maka semakin banyak lirikan maut dari gadis-gadis kembang kelas. Dan naluri sang ibu selalu mampu mencium gelagat anak bujangnya yang mulai genit-genit menjijikan itu, sepulang dari pasar itu ibuku menenteng cukup banyak belanjaan perlengkapan sekolah buat aku dan adik-adik, dari jauh saja aku sudah tau yang ibu bawa salah satunya adalah tas gendong biru ngejreng berukuran besar model skater yang waktu itu sedang trend, pasti itu buat aku, adiku masih terlalu kecil untuk memakai tas sebesar itu, maka dengan sangat berbahagia aku menghampiri ibu.. sigap sekali, dalam hati khidmat aku berteriak:  “selamat datang gayaaaaa!!!”, lalu kukeluarkan tas gendong itu dari kantong plastik besar dengan mata berbinar tapi selanjutnya melotot-lotot kaget ketika melihat dibagian belakangnya di sablon tulisan besar-besar kurang ajar: BODYPAC…tanpa huruf K. Tulisannya sungguh besar, kapital, warnanya kuning..kontras dengan warna biru tas-nya, dari jarak dua puluh meter saja kukira kau pasti masih bisa membacanya jelas tanpa huruf K. Jadi ketika berminggu-minggu tak kupakai juga tas itu, ibuku mulai bertanya keheranan mengapa tas biru itu tak pernah kupakai? Lantas dengan berdalih hebat kubilang: sayang mah, tas lama masih bisa dipakai. Ah..sungguh anak yang terpuji..pasti begitu pikir ibuku.

Hari yang telah ditentukan itupun tiba, pagi kelabu..tiba2 tas lamaku putus tali gendongnya akibat terlalu lama bekerja keras mengangkut bobot yang sering melebihi kapasitas maksimal, tas biru model skater yang berminggu-minggu tergantung lemas dipojokan kamar mendadak tersenyum senang..lalu tertawa..makin kencang..makin kencang…terbahak-bahak..ah betul betul kurang ajar kau tas.

Maka, seperti ninja, pagi itu kulangkahkan kaki dengan cepat masuk kelas..berusaha tak terlihat siapapun, lalu dengan cekatan memasukkan tas biru itu di laci kolong meja yang sialnya tidak cukup, lalu dengan terpaksa kutaruh di bangku saja, teman-teman yang kemudian melihat tas baru itu mulai menggoda dengan nada..cie cie..yang menyebalkan, lalu memegangi perut terkekeh kekeh puas ketika tahu merk-nya apa, kurang ajar memang, tapi aku sudah kebal kawan..memang didikan ibu dari kecil sungguh bermanfaat..aku jadi tak terlalu memusingkan teman laki2 yang mulai menghina hina itu..kalau sempat malah kuhadiahi mereka dengan senyuman manis terbaik sambil mengedip mata, tapi kekebalanku terhadap ejekan rupanya belum mencapai tahap paripurnanya, masalahnya adalah: satu murid perempuan cantik pujaan setiap pria, berkacamata..kurus tinggi putih, dia juga melihat tas biru itu lalu dengan berbisik-bisik dari jauh dia ikut terkikik kikik dengan sekumpulan perempuan lainnya..ah mukaku mulai memerah, kembali merona…pasti.

Tentu aku bisa tau meski tak berkaca, ketika telinga dan mukaku memerah maka itu terasa panas, tapi aku tak tau seberapa kepiting rebusnya wajahku waktu itu, entah kenapa pula kali ini aku sedikit frustasi..tiba2 saja ingin kulempar tas biru itu jauh2 tinggi ditelan langit. Lalu aku mulai memaki diri mengutuki, lalu diam..menahan emosi..

*****

Sebetulnya aku masih sedikit emosi..sedikit, ketika pulang menemui ibu, rupanya ia sedang sibuk mencuci setumpuk mangkok bekas mie ayam dan beberapa gelas bekas es campur, dan entah kenapa baru kusadar kalau ia kulihat begitu kurus, matanya sayu keletihan, rambutnya diikat seadanya, entah sejak kapan pula ia tak lagi memperhatikan penampilannya, kapan terakhir kali kulihat ia berdandan? Ah baru aku ingat..sudah sejak beberapa tahun terakhir memang, sejak ibuku memutuskan turut berjuang di garda depan menjadi pencari nafkah..meringankan beban bapak, membuka warung mie ayam warung kecil dipinggir jalan, ini adalah salah satu bentuk buah ide dari memutar otak..tujuannya bukan muluk2 untuk menambah penghasilan, melainkan untuk sirkulasi keuangan supaya gaji yang diberi suaminya tiap bulan itu tidak kandas ditengah bulan, cukup untuk menghidupi anaknya yang enam.

Melihatku pulang dengan tas biru itu ibuku tersenyum bangga dan berkata “akhirnya dipake juga tas barunya” sambil ia tetap mencuci piring, aku cuma membalas dengan senyum, maka kutatap lagi tas biru BODYPAC itu, bagaimanapun tas ini adalah persembahan terbaik dari ibu, untuk bisa mendapatkannya bukanlah hal yang mudah tapi hasil akumulasi perjuangan panjang seorang ibu, aku mulai mengerti bahwa tas biru itu dibeli dari kesabaran menyisih sedikit demi sedikit uang berbulan-bulan, dibeli dari tekad bangun subuh-subuh buta sepanjang hari untuk segera menuju ke pasar yang becek dan bau, dibeli dari beratnya menenteng belanjaan dan jauhnya melangkah dari tepi jalan raya hingga ujung gang demi menghemat ongkos becak, dibeli dari letihnya menunggui warung sejak pagi hingga malam demi dua, lima, hingga sepuluh mangkok mie ayam terjual, dibeli dari usaha meracik bumbu hingga malam sepekat gulita untuk dimasak esok harinya, aku kini tahu kalau semua benda imitasi itu dibeli dari sebuah mimpinya untuk membahagiakan anak-anak yang dia amat sayangi.

Lalu aku tiba2 saja mengingat semuanya berbeda; sepatu keren Warior, tas berkelas Esport, sandal mahal Nyu Era, hingga tas skater terbagus BODYPAC. Kudekap tas itu erat, takkan pernah lagi aku mencoba membayangkan melemparnya tinggi tinggi ditelan langit.

Pemuda Kata-Kata

Sekiranya judi itu dihalalkan aku berani bertaruh, kalau ada seratus orang jadi penonton sedang dia sudah mulai bicara di depan, maka kurang lebih begini yang akan terjadi; delapan puluh orang berdecak kagum, delapan belas gadis jatuh hati, dan dua orang sisanya yang acuh saja adalah pengidap autis dan tuli akut.

Pemuda canggih pintar bicara itu dulunya kupikir pastilah mantan tukang obat di pasar kaget, tapi melihat dia berjenggot sejumput di dagunya, gaya bicara yang santun, elegan, dan sering memakai istilah-istilah modern yang membikin kerut kening à semisal esensi atau entitas, maka aku berubah pikiran, sebenarnya mungkin saja kalau dia itu titisan bung karno, tapi itu sangat tidak logis sedang aku masih cukup mampu berfikiran sangat rasional; bagaimana mungkin titisan bung karno tidak memakai kopiah?? maka aku putuskan bahwa dia pastilah mantan sales asuransi syariah muda yang pernah sukses, tapi kemudian dipecat bosnya karena kebanyakan bicara.

Dialah pemuda kata-kata, walaupun dari segi wajah rata-rata saja tapi lihatlah jika dia mulai ber-retorika: gesture-nya luwes enak dilihat, menarik dan lihai seperti lionel messi menggocek bola, intonasinya pandai disesuaikan, kadang syahdu seperti orang yang baru saja kehabisan saldo di tanggal tua, lebih sering lantang membakar dada, runtut kata-nya rapih apik seperti skenario film box office, maka secara keseluruhan retorika-nya adalah sihir tiada tanding, paling tidak di seantero kampus ini, kalau kau perlu bukti, seumur hidup belum pernah aku mendengar kata esensi dipakai secara live, bukan di televisi bukan di buku, maka siapakah orang yang bicaranya lebih hebat selain orang yang menggunakan kata esensi ketika berdiskusi?? Super sekali.

Perkenalanku mengalir begitu saja, kami satu jurusan dan satu angkatan, satu manuver kehidupan dahsyat yang dia lakukan adalah saat dia memilih mengorbankan dirinya untuk menjadi wakil koordinator di angkatan kami, sungguh mulia tabiatnya, menjadi koordinator ataupun wakilnya berarti menyerahkan penuh jiwa raga pada apa yang namanya peraturan turun temurun para senior, sekaligus menjadi tameng bagi kesalahan rekan-rekannya: puluhan lelaki botak dan sepuluh wanita yang hampir setengahnya tomboi, maka menurutku patutlah jasa koordinator dan wakilnya itu disejajarkan dengan jasa para politikus negeri yang jujur tanpa pamrih. Tapi sungguh malang nasib pemuda, di jurusan yang tercinta ini, bahkan retorika kelas kakap pun akan sangat jarang mampu mencuri hati para senior-senior galak, baru saja pemuda itu menarik nafas berencana membuka jurus dengan prolog yang elegan lalu mengatur intonasi supaya pas, sang senior mendelik tajam lalu berkata tegas tanpa ampun: “push up kamu!! “..buyarlah sudah strateginya.

Seiring waktu, kami berteman dekat, dan akhirnya tau bahwa ternyata dalam banyak hal kami memiliki kesamaan, namun dalam banyak hal pula aku jauh tertinggal darinya maka bagiku dia adalah sahabat, rival, idola, sekaligus guru kehidupan. Apa yang terjadi jika ada hubungan pertemanan antara anak sulung (pemuda itu) dan anak tengah (aku) maka seperti kamilah gambarannya: si anak tengah lebih banyak menjadi pendengar dan sulung sebagai pembicaranya, tapi bisa dibilang hubungan kami adalah hubungan simbiosis mutualisme: si sulung sangat perlu pendengar, dan si tengah adalah tempat penampungannya, tapi bagi si tengah itu bukan sesuatu yang menyiksa, lewat celotehan nyaris tanpa jeda-nya lah ia justru menikmati bentuk persahabatan ini, menyimak ceritanya adalah memulung ilmu lewat cara yang mengasyikkan; seringkali si tengah mengerjap-ngerjap kagum mendengar kepiawan si sulung berkisah dan lebih takjub lagi ketika sadar..hei bukankah kita sudah berteman hampir enam tahun? dan kau masih saja punya stok cerita yang tak habis-habis untuk dibagi, darimana kau dapatkan semuanya itu??

Seperti halnya aku, dia berteman dengan tak banyak orang, hanya beberapa saja, dan semua yang beberapa itu, termasuk aku, sepakat bahwa beliau -selain dari jelmaan J.S Badudu: penguasa kamus besar bahasa indonesia- adalah juga Kamus Encarta (kamus segala tau) berjalan, pemuda itu adalah alternatif favorit kami ketika google sedang tak terjangkau, tentu saja alternatif yang menguntungkan, jika untuk mengakses google kita harus jauh-jauh ke warnet ditambah minimal mengeluarkan dua ribu rupiah, maka dengan bertanya pada sang pemuda Encarta  kau akan dapatkan solusi hanya dengan bayaran sebuah senyuman secukupnya,

tanyalah padanya bagaimana caranya menyambungkan beberapa kabel dari beberapa televisi ke dalam satu antena yang sama,

tanyalah pula padanya bagaimana bisa kungfu dan thifan saling berkaitan,

tanyalah apa saja..maka dia akan menjelaskan minimal lima menit tuntas tanpa jeda…dahsyat! Maka pada suatu siang yang terik di tengah tugas lapangan perkuliahan, aku lagi-lagi mengerjap kagum ketika kami secara sadar melewati sebuah pohon aren, lalu dengan spontan dia menjelaskan bagaimana gula aren itu dibuat, detail sekali dari mulai penyadapan sampai benar-benar jadi gula! kalau saja aku membawa stopwatch aku yakin betul penjelasannya mestilah tak kurang dari lima menit waktu itu…dahsyat!

***

Pemuda itu bukanlah dari keluarga berkecukupan sama halnya denganku, masalah yang berkaitan dengan hal-hal materiil sudahlah ia mafhum kalau akhirnya jadi teman sehari-hari, maka kehidupan kami ibarat kembar tak jauh beda: baju dan celana kuliah yang itu-itu saja cukuplah diganti dua atau tiga hari sekali, biaya kuliah yang menunggak, jarang punya sertifikat seminar atau kursus karena hampir tak ada uang lebih, susah dihubungi karena handphone bututnya sedang dijual, sangat gemar makan nasi setumpuk dengan satu tempe, kuah sayur dan sambal, tidak pernah membuat tersenyum tukang ojek, sama-sama bau keringat, karena bagi kami membeli deodoran demi tidak makan siang adalah satu bentuk kekejaman hakiki. Bagaimanapun aku lebih beruntung tinggal di rumah sendiri dengan orangtua, sedang dia adalah mahasiswa rantau yang mesti kost. Suatu sore yang hujan, ia rela menyerahkan enam ribu rupiahnya yang sangat berharga untuk dibelikan bensin bagi motor bututku yang kehabisan, tentulah agar aku yang sedang melarat juga bisa sama-sama berangkat kuliah ke dago, sekitar satu jam ia merunduk pegal dibelakang jok dibawah jas hujan dengan sepatu yang sama-sama kuyup kebasahan, tanpa keluhan.

Pertemanan kami yang bertahun-tahun itu, membuatku paham betul gelagatnya, beberapa kali dia main dan menginap di rumahku, dan aku tau persis kapan ia datang dengan niat bersilaturahmi dan kapan dia datang dengan niat bersilaturahmi dan tujuan-tujuan tertentu, aku tak pernah keberatan karena dia adalah sahabat senang dan susah, maka bagiku adalah suatu kebahagiaan jika bisa sedikit saja menenangkannya dengan menyuguhkan sekedar teh manis hangat atau mie ayam buatan ibu. Satu hari kelabu, kondisi keluargaku sedang dalam masa sangat kritis, aku tak berharap siapapun datang bertamu pagi itu, karena kami sedang tak punya apapun, benar-benar tak punya apapun, tapi sahabatku itu datang sungguh tak diharapkan, sedang aku tau –lewat intuisi–  ia dalam kondisi kehabisan uang, maka aku merana menyuguhkannya air putih saja, melihatnya tetap bercerita dari pagi sampai sore dengan keletihan yang ditutup-tutupi, sedang aku terlalu malu berkata bahwa aku sedang tak punya apa-apa. Tapi tuhan selalu mendengar, pukul empat sore tiba-tiba ibu mengetuk kamar, menyajikan nasi goreng hangat sederhana, spesial untuk pemuda itu, lalu aku bahagia melihat ia menyantap lahap, ternyata seorang tetangga baru saja membayar hutang, aku bersyukur dalam-dalam Subhanallah, Alhamdulillah…

Sahabatku yang satu itu ajaib, bagiku dia adalah contoh nyata pejuang sejati yang pantang menyerah, selalu gigih untuk belajar lebih baik dari orang lain (kecuali belajar geologi), lewat letupan-letupan semangatnya lah aku ikut terbakar, maka jika teman-temannya sedang jatuh ia mulai ber-retorika: orang macam kita ini lahir dari keluarga yang biasa-biasa saja, sejak kecil prestasi kita biasa-biasa saja, bahkan hal terhebat yang pernah kita lakukan sampai sekarang-pun adalah menjadi yang biasa-biasa saja, maka jika yang kita hanya punya adalah sekedar semangat dan kita biarkan semangat itu pergi, itu artinya kita telah membiarkan kita tak punya apa-apa lagi

Suatu sore yang tenang, saat aku mulai patah semangat dengan skripsi yang tak kunjung usai, sedang ia telah lulus dan bekerja di perusahaan besar, dia mengirimiku sms:

Tiap-tiap aku terjatuh dan terpuruk, aku selalu bangkit, karena aku ingin kisah hidupku berakhir dengan cerita seorang pahlawan heroik yang keep standing whatever does it take, untuk keluarga, untuk bakti seorang anak, untuk ketegaran seorang kakak, dan cinta seorang pemimpi….

Dan aku terbakar lagi….

Gambar diambil dari: http://rosodaras.wordpress.com/tag/pemuda/

Promise

Biar lelah itu terbayar nanti bu…

Segala jerih yang kau lalu tiap pagi hingga pagi, biar itu jadi bukti
hingga sayup angin sore yang berembus tak lagi perih nanti

Sendu yang kau sembunyikan lewat diam
kala kau cerita tentang senja dulu yang semburam
sampai kinipun masih tak berubah muram…

Ini janjiku ibu

Demi engkau, biar nanti aku nyala
hingga gelap itu habis tak sisa

Matahari akan datang esok pagi
hingga hari tak ingkar lagi
sapa engkau lewat lagu pagi
yang diam-diam ajak engkau turut bernyanyi, diam-diam ajak engkau ikut menari

Sampai engkau tau pada akhirnya
belumlah hilang semua asa
masih ada segenggam cita juga senyum penuh cinta
serupa sekuntum mimpi yang telah jadi nyata

janji aku…anakmu